What's Up.......!!!

hallo semua... selamat datang di blog gue. Bukan blog biasa yang isinya pasti (mungkin) bisa ngerubah hidup lo seutuhnya.
yawdah deh met menikmati aja hidangan yang udah gue sajiin bwt lo smua.....
NB: Maaf ye klo masih berantakan ^^

19 April 2009

THE DARTZIENS

2

RAHASIA YANG TERUNGKAP


Kegelapan Itulah yang baru dialami oleh Agus. Dia tertelungkup di bawah tempat tidurnya, matanya memandang kolong tempat tidurnya yang gelap. Dia bangun, dia memandang ke sekeliling seakan tak percaya apa yang baru saja dilihatnya. Dia tak menyangka ini hanya mimpi, ia baru saja menyaksikan kejadian yang luar biasa, tak masuk akal tapi nyata.

Dia merenungi mimpi itu, dia tahu dan yakin itu bukan mimpi biasa. Dia menganggap itu sebagai petunjuk untuknya. Petunjuk yang mengungkapkan segala rahasia yang selama ini tidak diketahuinya. Dia tak mau ambil resiko, tak ingin menceritakan kepada siapapun—termasuk Engkong Maman—tentang apa yang dialaminya.

Hari demi hari telah berlalu, tak terasa sudah 1 minggu lamanya Agus bebas dari mimpi-mimpi buruk sejak dia mengalami puncaknya yang membuat dia tahu apa tujuan mimpi tersebut datang tiap malamnya. Selama itu pula Agus tidak melihat Dinda, pujaan hatinya yamng menghilang begitu saja. Dia ingat ketika Dinda menangis di sampingnya dan mengacuhkannya begitu saja. Sekarang bukanlah yang dulu, Agus sudah mulai menyesali perbuatannya. Namun, Dinda pergi saat dia membutuhkannya., saat dia merasakan bahagia untuk pertama kalinya, sejak sadar dia sudah bebas dari segala beban yang menggelayutinya.

Dia kesepian tanpa adanya Dinda di sisinya, sampai pada akhirnya sahabatnya yang paling dekat memberitahunya.

“Woii Gus! Ada kabar gembira neh. Gua dapet informasi yang pasti bakal bikin lu seneng ampe mampus!” kata Sofyan dengan sangat antusias menyambar minuman di depan Agus yang baru dibelinya dari warung Bang Joni. Sofyan bergairah saat itu, dengan memakai seragam sekolahnya yang serba besar, dia terlihat seperti anak badak yang baru mendapatkan santapan untuk pertama kalinya. Dia berbadan besar dengan rambutnya yang hitam berminyak, tampak selalu rapi seperti orang yang ingin pergi ke acara pernikahan. Perutnya yang buncit, cukup muat untuk menaruh barang-barang bekas di dalamnya.

“Maksud lu ape?” Tanya Agus.

"maksud gua? Emangnya lu ga paham?” Tanya Sofyan lagi. Agus tak menjawab, sampai akhirnya Sofyan bicara lagi.

"Dinda, ini tentang Dinda Gus! Lu ga ngelupain dia kan?"
Hati Agus mencelos. Baru kali ini dia mendengar nama Dinda disebut di depannya.

“Dinda sekarang di Bandung. Di rumah mbahnya.”kata Sofyan tidak sabar. Dia sekarang meneguk minuman Agus sampai habis tak tersisa. Agus pun hanya bisa pasrah.

“Lu tau dari mana? Bukannya semua orang yang ada di sekolah ini pada ga tau, kan. Trus lu tau dari mana?” Tanya Agus penasaran.

“Dari Pak Iman—ya.”

“Pak Iman? Pak Iman penjaga sekolah maksud lu?” Agus sekarang menatap matanya dalam-dalam ke arah Sofyan. Dia percaya, Sofyan tak mungkin berbohong kepadanya.

“Tepat,” kata Sofyan. “Dia ngasih tau gua tadi, setelah gua bujuk dia abis-abisan karna gu tau sob, lu pasti perlu banget informasi ini.”

Agus mendekatkan duduknya. Dia sudah fokus untuk mendengarkan Sofyan. Dia sudah tak mendengar lagi hiruk-pikuk anak-anak yang ada di kantin.

“Begini,” kata Sofyan. “Kat Pak Iman, Dinda sekarang lagi pulang kampung, soalnya abangnya nikah di sono.”

“Kalo begitu, kenapa Dinda ga ngasih tau gua?”

“Emang lu siapanya sob? Mentang-mentang lu cowoknya, lu berhak tau tentang dirinya?”

“Bukan begitu,--“

“Sekarang begini, kalaupun omongan Pak Iman itu bener, Dinda pergi Cuma karna hal sepele, kenapa Dia ga mau kasih tau ke semua orang?”

Agus tak menjawab, Sofyan ada benarnya. Dinda tidak mungkin begitu saja pergi tanpa ada kabar. Informasi Pak Iman tak sepenuhnya benar, dia tahu Dinda seperi apa, setelah 1 tahun lamanya mereka berhubungan. Agus lalu mulai bicara.

“Jadi lu curiga sama Pak Iman?”

“Iya, gua curiga. Coba bayangin, si Iman, yang ga pernah deket sama sekali dengan Dinda, bisa tau keberadaan Dinda yang kita semua, di sekolah ini, ga pernah tau dia di mana sekarang.”

“Mungkin sebenarnya Pak Iman ada hubungannya, kali, sama Dinda. Kita kan ga tau.”

“Ga mungkin Gus. Lu tau sendiri kan, si Iman kaya’ gimana? Aneh, aneh banget. Dari segi fesyen aja dia jadul banget. Udah kaosnya dekil, robek-robek, yang dipake itu-itu mulu, warnanya item kaya’ orang pengen ngelayat aja. Celananya udah kaya’ karung goni, gombrong banget, dan yang paling aneh, kesukaannya sama yang namanya tikus. Segala macem tikus, dari tikus putih ampe tikus got, dia embat buat dipelihara" Sofyan dan Agus tertawa terbahak-bahak. Bel pun berbunyi tidak terasa jam istirahat telah usai. Agus dan Sofyan pun meninggalkan kantin dan menuju ke kelasnya masing-masing.

Sesampainya di kelasnya yang terletak di lantai 3, Agus menemukan sebuah kertas lusuh yang sudah berwarna kuning kecoklatan, terlipat dua di atas mejanya. Agus melihat di sekelilingnya, berharap ada yang melihatnya dan memberitahunya siapa yang mengirim surat itu kepadanya, namun sia-sia. Dia kemudian perlahan membuka lipatan kertas tersebut dan mulai membacanya.


Agus,

Malam ini jam 8, saya tunggu kamu di gerbang sekolah.

Wajib!!

Iman


Tulisannya yang sepeti anak TK, membuat Agus perlu waktu agak lama untuk mencerna kata demi kata yang dibacanya. Hati Agus mencelos, ketika tahu apa maksud dari surat itu. Dia tak menyangka, Pak Iman, sosok yang sama sekali tak dikenalnya, tiba-tiba menulis surat kepadanya.

Dia memikirkan itu semua, apa yang akan Pak Iman lakukan saat bertemu dirinya dan apa yang dia inginkan darinya yang jelas-jelas selama 2 tahun lamanya bersekolah di sini, dia tak pernah berurusan apapun dengannya.

Dia menyapu pandangannya ke ruang kelas yang saat itu ramai karena belum ada guru yang datang. Dia melihat ke sebelahnya, bangku yang tidak berpenghuni semenjak Dinda hilang tanpa kabar.Di seberang kiri, di sudut paling belakang, sekelompok siswa yang tergabung dalam Genk Kodok sedang asyik memainkan kodok baru mereka yang didapatnya dari kali belakang sekolah. Geng ini merupakan salah satu geng tenar di sekolah Doa Ibu. Walaupun kerjaannya hanya mengurusi kodok, mereka yang beranggotakan Didit, Eko, Budi, dan Mardi ini sering mendapatkan berbagai prestasi yang layak dibanggakan. Salah satunya pada bulan Januari 2009, mereka telah memecahkan rekor MURI sebagai kolektor kodok terbanyak dengan koleksi kodok mereka yang mencapai angka 1000.

Setelah puas mengamati Genk Kodok, mata Agus berpaling ke sosok pria kecil berambut cepak, yang hampir setiap 30 menit selalu izin ke kamar kecil. Pria itu bernama Dedi, yang oleh teman-teman dijuluki "Dedi Qo'bezer", meskipun banyak yang tidak tahu apa yang sebenarnya dia lakukan setiap kali ke kamar kecil.

Kepribadian teman-teman sekelasnya yang aneh dan unik membuat Agus merasa minder. Dia berpikir, dia tidak mempunyai ciri khas untuk bisa membuatnya terkenal di sekolah, dia juga tidak punya bakat khusus yang layak untuk dipamerkan ke khalayak ramai dan praktis dia hanya bisa berusaha lebih keras untuk meningkatkan prestasi akademiknya yang akhir-akhir ini menurun.


***


Waktu demi waktu dilalui Agus dengan rasa penasaran, tidak sabar menunggu malam tiba dan segera bertemu dengan Pak Iman. Agus merasa ada hal penting yang akan disampaikan olehnya, meskipun dia sendiri tidak tahu apa itu.

Akhirnya rembulan memancarkan sinarnya dan waktu sebentar menunjukkan angka 8. Agus pun bersiap-siap untuk menuju ke sekolah dengan sejuta pertanyaan yang menghampirinya. Dia segera menuju ke sebuah ruangan yang pengap, yang terletak di sebelah kanan rumahnya. Ruangan tersebut sepertinya tidak pernah tersentuh oleh pemiliknya dan penerangan pun hanya sebatas lampu kecil di tengah-tengah langit-langit yang sudah redup. Agus kemudian menuju ke sudut ruangan yang dipenuhi sarang laba-laba dan mulai mengambil sepeda kumbang yang sudah sangat tua. Sepeda itu kepunyaan Engkong Maman yang sudah diwariskan kepada Agus, namun tidak pernah dipakainya karena menurutnya sepeda itu sudah tak layak pakai dan kemudian Agus mengeluarkannya dari gudang dan segera bergegas pergi ke sekolah.

Malam itu sangat dingin bagi Agus yang pada saat itu hanya mengenakan sweater garis-garis berwarna putih yang hampir setiap hari dipakainya. Agus masih belum terbiasa saat itu, mengendarai sepeda tua yang belum pernah disentuh sebelumnya membuat dia merasakan sensasi yang luar bisa dibandingkan dengan setiap harinya dia berjalan kaki ke sekolah yang berjarak sekitar 2 km dari rumahnya.

Hampir 5 menit berlalu, Agus sampai di depan gerbang sekolah. Jantungnya berdegup kencang seiring dengan dinginnya malam, dan suasana yang gelap dan sunyi kemudian menyempurnakannya.

Di depan gerbang, berdiri beku sesosok manusia yang sepertinya sedang menanti kedatangan tamu istimewanya.

"Agus Iskandar." kata Pak Iman dengan suara paraunya. Dia tampak menakutkan dengan memakai jubah hitam yang sudah lusuh dan terlihat tambalan sana-sini. Dia terlihat agak berwibawa dengan rambut hitamnya yang panjang tidak terawat, wajahnya yang berewokan terkesan seperti preman kampung yang setiap harinya beroperasi di Kampung Rambutan.

Hati Agus mencelos, ketika seseorang yang tidak dikenalnya tba-tiba memanggilnya dengan lengkap. Dengan gugup dia mencoba memakirkan sepedanya dan perlahan mendekatinya.

"Dari....mana...anda--ehh--bapak tau?" kata Agus gugup.

Pak Iman tidak menjawab. Dia membelakangi Agus dan berjalan melewati pintu gerbang yang terbuka menuju posnya yang terletak di sisi kiri gerbang. Agus mengikutinya, namun tiba-tiba di depan pos Pak Iman berhenti.

"Tunggu. Silahkan kamu duluan yang masuk." kata Pak Iman.

"Eh--iya..." kata Agus lalu segera masuk ke dalam mendahului Pak Iman. Agus pun duduk di kursi di sebelahnya tanpa disuruh, diikuti Pak Iman yang duduk di hadapannya.

"Agus, saya ingn kamu tau." kata Pak Iman.

"Tau apa?" tanya Agus penasaran.

"Sesuatu yang selama ini kamu tidak tau."

"Maksud bapak?"

"Sesuatu yang sang dirahasiakan."

"Maaf--"

"Sesuatu yang sangat besar--,"

"Tunggu," kata Agus memotong. "Tunggu dulu, saya tidak mengerti apa yang bapak katakan. apa yang sebenarnya yang ingin bapak sampaikan ke saya?"

"Sangat penting."

"Sangat penting?"

"Sangat penting bagimu. Sesuatu yang--,"

"Cukup!!!" Agus berdiri dari tempat duduknya. "Saya tidak mengerti! Saya mohon bapak tidak membuang waktu saya."

"Akan saya buat mengerti. Duduklah." kata Pak Iman tenang. Emosi Agus mulai mereda dan perlahan dia duduk kembali ke kursinya.

"Jadi, apa yang akan bapak sampaikan?" kata Agus mencoba tenang.

"Tentang kamu, keluarga kamu yang sebenarnya."

"Keluarga saya?"

"Orang tua kamu. Ya, orang tua kamu masih hidup."

"Tapi kenapa--kenapa bapak bisa tau orang tua saya?"

"Saya mengenalnya. Kami satu bangsa." Agus terdiam, dia masih tidak mengerti, sampai akhirnya Pak Iman melanjutkan.

"Bangsa kami berbeda dengan bangsa kalian." kata Pak Iman. "Bangsa Dartziens, bangsa yang tersembunyi. Bangsa yang tidak boleh seorangpu tau tentang keberadaannya."

"Tapi kenapa bapak memberitahu saya?"

"Karena kamu termasuk, Gus. Semua keluargamu termasuk di dalamnya."

Jantung Agus berdegup semakin kencang Dia tak berdaya, ketika tahu siapa dia sebenarnya. Dari bangsa yang berbeda.... Dari bangsa yang berbeda.... Kalimat tersebut terus bergema dalam benaknya.



***

07 April 2009

THE DARTZIENS

1
MIMPI YANG DI TAKUTI

Di suatu daerah di Jakarta, di perkampungan kumuh yang dikelilingi oleh bau sampah yang menyengat. seperti itulah kiranya gambaran lingkungan sekitar yang di diami oleh Agus. Pria yang berkulit putih, kurus, dan jangkung ini tinggal bersama Engkong Maman yang merupakan kakeknya. Engkong Maman berwajah seram, rambutnya putih jarang disisir, dia tampak gagah walaupun terlihat dirinya tak mampu membawa tubuhnya yang kurus sendiri sampai-sampai dia memakai tongkat un tuk menumpu tubuhnya.
Hampir 17 tahun lamanya Agus tinggal bersama kakeknya. Ayah dan ibunya sudah meninggal ketika usianya baru 1 tahun, meskipun dia tampaknya tak begitu yakin karena dia menganggap ucapan Engkong Maman terhadapnya tentang Ayah dan ibunya hanya berusaha menutup-nutupi apa yang terjadi sebenarnya. Itu terjadi terjadi saat Agus selalu dihantui oleh mimpi aneh tentang keberadaan orang tuanya.
Dia melihat kedua orang tuanya menuju ke sebuah kastil aneh yang sangat gelap. Kastil tersebut terdapat banyak pintu yang tak terhitung jumlahnya.Kastil itu juga dikelilingi oleh sungai yang airnya sangat jernih dibandingkan sungai Ciliwung.
Ayah dan ibunya melewati sungai itu dengan menyeberangi jembatan raksasa yang menghubungkannya menuju pintu utama. Keduanya terlihat aneh memakai jubah hitam panjang yang terjulur sampai bawah menutupi telapak kaki. Sang ayah memakai caping berwarna putih dengan gambar seekor gajah jingkrak merah ditengahnya. Seadngkan sang ibu, sama seperti ayahnya, namun rambutnya yang hitam berkilau dibiarkan terurai sampai bahu. Agus yang melihat dari kejauhan, di bawah pohon beringin yang sangat tua, lalu ingin mengikutinya secara diam-diam. Namun...
TIDAKKKK!!!!
Agus terlonjak dari tidurnya. Dilihatnya sesosok bayangan Engkong Maman yang berusaha mengakhiri malam-malam yang sangat menegangkan baginya.
"Kenape lu Tong? Ade ape?" tanya Engkong Maman.
Di depannya, Agus berusaha menceritakan secara rinci bagaimana mimpi itu menghantuinya setiap malam dan berharap Engkong mengerti apa yang diucapkannya.
"Jadi, ape arti dari smue ni Kong?Ape bener nyak babe masih idup?" kata Agus.
Mendengar ini, wajah Engkong Maman mendadak sangat seram, garis-garis keriputnya terlihat jelas. Sekilas monster dalam dirinya muncul memperingatkan Agus.
"Ah...Engkong ga... Ga usah dibahas lagi!" gertak Engkong Maman.
"Tapi..."
"Inget Gus, gua bilangin lu ga usah nanya-nanya itu lagi di depan gua. Itu bukan urusan lu!" kata Engkong Maman melengking, lalu segera meninggalkan Agus yang masih bingung akan tngkahnya.
Kenape? ade ape dengan Engkong?ape Engkong tau semuanye?kenape die ga mau kasih tau aye kalo emang bener ntu semue?
Beribu-ribu pertanyaan muncul dalam benaknya yang membuatnya ingin sekali menyelidikinya. Namun tidak sekarang, banyak hal yang harus dia kerjakan sekarang daripada memikirlan hal-hal yang menurutnya sulit untuk diungkapkan.
Langit tampak cerah pagi ini, namun tak secerah apa yang dialami oleh Agus. Agus masih memikirkan tingkah laku Engkongnya tadi subuh. Dia yakin bahwa Engkongnya tahu apa yang dia tidak tahu selama ini dan dia harus mencari tahu akan hal itu.
Di sekolah pun Agus tak ingin banyak bicaradan itu membuat teman-temannya heran bukan kepalang.
"Kenapa Gus?keliatannya murung amat, ada masalah?" tanya seorang gadis, duduk di bangku disebelah Agus yang terletak di sudut kanan kelas paling belakang. Gadis cantik itu berambut hitam panjang sebahu dan dari wajahnya memancar sinar kehangatan dan kelembutan bagi siapa saja yang melihatnya.
"Apa?" kata Agus, terbangun dari lamunannya.
"Iya, kenapa?"
"Aku...aku--ga ada, ga ada apa-apa." kata Agus ragu. Dia tak tahu harus bilang apa, memberitahunya segala apa yang dia alami, sepertinya terlalu mengambil resiko yang berat. Dia ingin menyimpannya sendiri masalahnya, terlalu egois memang, tapi dia yakin dia bisa memecahkannya.
"Aku tau, kamu lagi ada masalah, tapi kamu jangan gitu dong, bagaimanapun aku kan pacar kamu." bujuk gadis itu.
"Aku ga ada apa-apa Dinda, kamu jangan berlebihan gitu, walaupun kamu pacar aku, aku berhak punya rahasia, rahasia yang ga boleh seorangpun tau, termasuk kamu!" kata Agus jengkel.
Diam sejenak, Agus memperhatikannya, air mata Dinda mengalir ke pipinya, melewati dagunya lalu jatuh di atas roknya yang berwarna abu-abu. Dia tak tega, melihat kekasihnya sedih disisinya, dia ingin memeluknya dan menyeka air matanya, tapi tak bisa. Di satu sisi dia tak ingin masalahnya terungkap begitu saja ke orang lain, di sisi lain dia tak ingin melukai hati Dinda.
Agus meninggalkannya. Pilihan itu muncul begitu saja setelah dia tak yakin akan apa yang harus dia perbuat. Dinda sendirian, terpaku di tempat duduknya dan wajahnya menyandar ke meja, menutup matanya yang berair dengan lengannya.
Malam harinya, Agus terbaring di tempat tidurnya, memandang langit-langit kamar tidurnya, memikirkan kejadian-kejadian yang telah berlalu hari ini. Mimpi yang selalu menghantuinya, Dinda yang menangis di sisinya dan meninggalkannya begitu saja, semuanya membekas dalam pikirannya, membuatnya gelisah, belum lagi mimpi itu, yang diprediksi Agus akan muncul lagi menghiasi tidurnya. Dia tak tahu apa yang harus dia lakukan untuk mencegah mimpi itu datang lagi dalam angan-angannya, menghilangkannya dalam ingatan dan memikirkan hal yang indah-indah--dalam hal ini Dinda-- merupakan solusi yang terbaik. Dia mencobanya, namun sia-sia, sampai akhirnya kegelapan membawanya ke tempat yang sudah tak asing lagi baginya.
Di suatu tempat yang gelap, dengan udara malam yang sangat dingin, Agus berdiri di sana di jalan kecil disinari cahaya bulan. Di sebelah kanan dan kirinya dibatasi semak rendah yang tumbuh liar. Di ujung jalan, Agus melihat setitik cahaya putih yang menyilaukan. Seakan itu tujuannya, Agus bergegas menuju sumber cahaya tersebut, semakin dekat semakin menyilaukan dan cahaya tersebut masuk ke dalam tubuhnya, menusuk rusuknya hingga akhirnya dia tak sadarkan diri.
Beberapa lama berselang, dia perlahan membuka matanya. Dia berbaring menelungkupmembiarkan hawa dingin menyerangnya tanpa ampun. Dia sadar dengan sakit yang amat luar biasa di sekujur tubuhnya, hidungnya berdarah, tangan dan kakinya membeku seketika, dan dadanya sakit saat mencoba mendirikan tubuhnya. Wajahnya yang pucat menjadi pertanda bahwa dia sendiri telah mengalami ketakutan yang luar biasa dalam dirinya.
Sekuat tenaga dia mencoba berdiri dengan tangan dan kakinya yang kaku. Dia berhasil mengimbangi dirinya sendiri, menahan sekuat tenaga akan sakit yang dia alami. Matnya yang mulai terbiasa melihat sekelilingnya dimana dia berada dan dia sadar, dia sudah berada di tempat yang berbeda.
Tepatnya di jalan setapak yang diterangi lampu neon di atasnya, di kanan kirinya terdapat sebaris rumah kecil yang gelap tak ada penerangan. Dia berjalan terhuyung-huyung melewati rumah-rumah yang tampaknya sudah tua dan tak berpenghuni.
"TIDAKKK!!!!"
Hati Agus tersentak. Dia mendengar teriakan dari salah stu rumah yang baru saja dilewatinya. Jantung Agus berdegup kencang, dia tak menyangka ternyata masih ada manusia selain dia yang ada di tempat itu. Dengan rasa penasaran, dia mencoba mundur dan mendekati rumah yang sepertinya menjdi sumber suara.
"Tidak Charlie, aku tidak mau!" kata seorang gadis sambil menangis. Dia terlihat anggun memakai piyama berwarna biru laut dengan rambut hitamnya yang panjang terurai. Dia sedang duduk di bangku berlengan yang sudah reyot, menangis tersedu-sedu, namun aura kecantikannya masih memancar di wajahnya yaipenuhi air mata.
"Mayna, kumohon,biarlah anak itu tinggal di sini. Itu demi kebaikan kita bersama. Dia perlu tau siapa dia, darimana dia berasal." kata seorang laki-laki yang sedang berdiri di depan gadis, memohon gadis agar mau menerima usulannya. Laki-laki itu berbadan tegap, tinggi, memakai jubah hitampanjangyang terjulur sampai bawah. Dia berambut ikal dihiasi denga uban sana sini, alisnya tebal dan hidungnya mancung.
"Please Mayna, izinkan aku membawanya ke sini, dia harus tau, dia harus tau!" kata Charlie
"Baiklah," kata Mayna "tapi, aku tak mau dia ada mengikuti jejakku dan juga Farcal. Aku ingin dia baik, seperti kakeknya."
"Oke, aku akan bawa dia di pihakku. Tapi, apakah dia berhak--?"
"Tidak! dia tak boleh tau tentang ini. Aku takut..." Mayna menangis tersedu-sedu, dia tak kuat menahannya.
Hati Agus mencelos, Dia tahu. Dia tahu semuanya. Namun tiba-tiba kabut tebal menyelimutinya, kegelapan mulai menyerangnya dan dia membuka matanya.

***