2
RAHASIA YANG TERUNGKAP
Kegelapan Itulah yang baru dialami oleh Agus. Dia tertelungkup di bawah tempat tidurnya, matanya memandang kolong tempat tidurnya yang gelap. Dia bangun, dia memandang ke sekeliling seakan tak percaya apa yang baru saja dilihatnya. Dia tak menyangka ini hanya mimpi, ia baru saja menyaksikan kejadian yang luar biasa, tak masuk akal tapi nyata.
Dia merenungi mimpi itu, dia tahu dan yakin itu bukan mimpi biasa. Dia menganggap itu sebagai petunjuk untuknya. Petunjuk yang mengungkapkan segala rahasia yang selama ini tidak diketahuinya. Dia tak mau ambil resiko, tak ingin menceritakan kepada siapapun—termasuk Engkong Maman—tentang apa yang dialaminya.
Hari demi hari telah berlalu, tak terasa sudah 1 minggu lamanya Agus bebas dari mimpi-mimpi buruk sejak dia mengalami puncaknya yang membuat dia tahu apa tujuan mimpi tersebut datang tiap malamnya. Selama itu pula Agus tidak melihat Dinda, pujaan hatinya yamng menghilang begitu saja. Dia ingat ketika Dinda menangis di sampingnya dan mengacuhkannya begitu saja. Sekarang bukanlah yang dulu, Agus sudah mulai menyesali perbuatannya. Namun, Dinda pergi saat dia membutuhkannya., saat dia merasakan bahagia untuk pertama kalinya, sejak sadar dia sudah bebas dari segala beban yang menggelayutinya.
Dia kesepian tanpa adanya Dinda di sisinya, sampai pada akhirnya sahabatnya yang paling dekat memberitahunya.
“Woii Gus!
“Maksud lu ape?” Tanya Agus.
"maksud gua? Emangnya lu ga paham?” Tanya Sofyan lagi. Agus tak menjawab, sampai akhirnya Sofyan bicara lagi.
"Dinda, ini tentang Dinda Gus! Lu ga ngelupain dia
Hati Agus mencelos. Baru kali ini dia mendengar nama Dinda disebut di depannya.
“Dinda sekarang di
“Lu tau dari mana? Bukannya semua orang yang ada di sekolah ini pada ga tau,
“Dari Pak Iman—ya.”
“Pak Iman? Pak Iman penjaga sekolah maksud lu?” Agus sekarang menatap matanya dalam-dalam ke arah Sofyan. Dia percaya, Sofyan tak mungkin berbohong kepadanya.
“Tepat,” kata Sofyan. “Dia ngasih tau gua tadi, setelah gua bujuk dia abis-abisan karna gu tau sob, lu pasti perlu banget informasi ini.”
Agus mendekatkan duduknya. Dia sudah fokus untuk mendengarkan Sofyan. Dia sudah tak mendengar lagi hiruk-pikuk anak-anak yang ada di kantin.
“Begini,” kata Sofyan. “Kat Pak Iman, Dinda sekarang lagi pulang kampung, soalnya abangnya nikah di sono.”
“Kalo begitu, kenapa Dinda ga ngasih tau gua?”
“Emang lu siapanya sob? Mentang-mentang lu cowoknya, lu berhak tau tentang dirinya?”
“Bukan begitu,--“
“Sekarang begini, kalaupun omongan Pak Iman itu bener, Dinda pergi Cuma karna hal sepele, kenapa Dia ga mau kasih tau ke semua orang?”
Agus tak menjawab, Sofyan ada benarnya. Dinda tidak mungkin begitu saja pergi tanpa ada kabar. Informasi Pak Iman tak sepenuhnya benar, dia tahu Dinda seperi apa, setelah 1 tahun lamanya mereka berhubungan. Agus lalu mulai bicara.
“Jadi lu curiga sama Pak Iman?”
“Iya, gua curiga. Coba bayangin, si Iman, yang ga pernah deket sama sekali dengan Dinda, bisa tau keberadaan Dinda yang kita semua, di sekolah ini, ga pernah tau dia di mana sekarang.”
“Mungkin sebenarnya Pak Iman ada hubungannya, kali, sama Dinda. Kita
“Ga mungkin Gus. Lu tau sendiri
Sesampainya di kelasnya yang terletak di lantai 3, Agus menemukan sebuah kertas lusuh yang sudah berwarna kuning kecoklatan, terlipat dua di atas mejanya. Agus melihat di sekelilingnya, berharap ada yang melihatnya dan memberitahunya siapa yang mengirim
Agus,
Malam ini jam 8, saya tunggu kamu di gerbang sekolah.
Wajib!!
Iman
Tulisannya yang sepeti anak TK, membuat Agus perlu waktu agak lama untuk mencerna kata demi kata yang dibacanya. Hati Agus mencelos, ketika tahu apa maksud dari
Dia memikirkan itu semua, apa yang akan Pak Iman lakukan saat bertemu dirinya dan apa yang dia inginkan darinya yang jelas-jelas selama 2 tahun lamanya bersekolah di sini, dia tak pernah berurusan apapun dengannya.
Dia menyapu pandangannya ke ruang kelas yang saat itu ramai karena belum ada guru yang datang. Dia melihat ke sebelahnya, bangku yang tidak berpenghuni semenjak Dinda hilang tanpa kabar.Di seberang kiri, di sudut paling belakang, sekelompok siswa yang tergabung dalam Genk Kodok sedang asyik memainkan kodok baru mereka yang didapatnya dari kali belakang sekolah. Geng ini merupakan salah satu geng tenar di sekolah Doa Ibu. Walaupun kerjaannya hanya mengurusi kodok, mereka yang beranggotakan Didit, Eko, Budi, dan Mardi ini sering mendapatkan berbagai prestasi yang layak dibanggakan. Salah satunya pada bulan Januari 2009, mereka telah memecahkan rekor MURI sebagai kolektor kodok terbanyak dengan koleksi kodok mereka yang mencapai angka 1000.
Setelah puas mengamati Genk Kodok, mata Agus berpaling ke sosok pria kecil berambut cepak, yang hampir setiap 30 menit selalu izin ke kamar kecil. Pria itu bernama Dedi, yang oleh teman-teman dijuluki "Dedi Qo'bezer", meskipun banyak yang tidak tahu apa yang sebenarnya dia lakukan setiap kali ke kamar kecil.
Kepribadian teman-teman sekelasnya yang aneh dan unik membuat Agus merasa minder. Dia berpikir, dia tidak mempunyai ciri khas untuk bisa membuatnya terkenal di sekolah, dia juga tidak punya bakat khusus yang layak untuk dipamerkan ke khalayak ramai dan praktis dia hanya bisa berusaha lebih keras untuk meningkatkan prestasi akademiknya yang akhir-akhir ini menurun.
***
Waktu demi waktu dilalui Agus dengan rasa penasaran, tidak sabar menunggu malam tiba dan segera bertemu dengan Pak Iman. Agus merasa ada hal penting yang akan disampaikan olehnya, meskipun dia sendiri tidak tahu apa itu.
Akhirnya rembulan memancarkan sinarnya dan waktu sebentar menunjukkan angka 8. Agus pun bersiap-siap untuk menuju ke sekolah dengan sejuta pertanyaan yang menghampirinya. Dia segera menuju ke sebuah ruangan yang pengap, yang terletak di sebelah kanan rumahnya. Ruangan tersebut sepertinya tidak pernah tersentuh oleh pemiliknya dan penerangan pun hanya sebatas lampu kecil di tengah-tengah langit-langit yang sudah redup. Agus kemudian menuju ke sudut ruangan yang dipenuhi sarang laba-laba dan mulai mengambil sepeda kumbang yang sudah sangat tua. Sepeda itu kepunyaan Engkong Maman yang sudah diwariskan kepada Agus, namun tidak pernah dipakainya karena menurutnya sepeda itu sudah tak layak pakai dan kemudian Agus mengeluarkannya dari gudang dan segera bergegas pergi ke sekolah.
Malam itu sangat dingin bagi Agus yang pada saat itu hanya mengenakan sweater garis-garis berwarna putih yang hampir setiap hari dipakainya. Agus masih belum terbiasa saat itu, mengendarai sepeda tua yang belum pernah disentuh sebelumnya membuat dia merasakan sensasi yang luar bisa dibandingkan dengan setiap harinya dia berjalan kaki ke sekolah yang berjarak sekitar 2 km dari rumahnya.
Hampir 5 menit berlalu, Agus sampai di depan gerbang sekolah. Jantungnya berdegup kencang seiring dengan dinginnya malam, dan suasana yang gelap dan sunyi kemudian menyempurnakannya.
Di depan gerbang, berdiri beku sesosok manusia yang sepertinya sedang menanti kedatangan tamu istimewanya.
"Agus Iskandar." kata Pak Iman dengan suara paraunya. Dia tampak menakutkan dengan memakai jubah hitam yang sudah lusuh dan terlihat tambalan sana-sini. Dia terlihat agak berwibawa dengan rambut hitamnya yang panjang tidak terawat, wajahnya yang berewokan terkesan seperti preman kampung yang setiap harinya beroperasi di Kampung Rambutan.
Hati Agus mencelos, ketika seseorang yang tidak dikenalnya tba-tiba memanggilnya dengan lengkap. Dengan gugup dia mencoba memakirkan sepedanya dan perlahan mendekatinya.
"Dari....mana...anda--ehh--bapak tau?" kata Agus gugup.
Pak Iman tidak menjawab. Dia membelakangi Agus dan berjalan melewati pintu gerbang yang terbuka menuju posnya yang terletak di sisi kiri gerbang. Agus mengikutinya, namun tiba-tiba di depan pos Pak Iman berhenti.
"Tunggu. Silahkan kamu duluan yang masuk." kata Pak Iman.
"Eh--iya..." kata Agus lalu segera masuk ke dalam mendahului Pak Iman. Agus pun duduk di kursi di sebelahnya tanpa disuruh, diikuti Pak Iman yang duduk di hadapannya.
"Agus, saya ingn kamu tau." kata Pak Iman.
"Tau apa?" tanya Agus penasaran.
"Sesuatu yang selama ini kamu tidak tau."
"Maksud bapak?"
"Sesuatu yang sang dirahasiakan."
"Maaf--"
"Sesuatu yang sangat besar--,"
"Tunggu," kata Agus memotong. "Tunggu dulu, saya tidak mengerti apa yang bapak katakan. apa yang sebenarnya yang ingin bapak sampaikan ke saya?"
"Sangat penting."
"Sangat penting?"
"Sangat penting bagimu. Sesuatu yang--,"
"Cukup!!!" Agus berdiri dari tempat duduknya. "Saya tidak mengerti! Saya mohon bapak tidak membuang waktu saya."
"Akan saya buat mengerti. Duduklah." kata Pak Iman tenang. Emosi Agus mulai mereda dan perlahan dia duduk kembali ke kursinya.
"Jadi, apa yang akan bapak sampaikan?" kata Agus mencoba tenang.
"Tentang kamu, keluarga kamu yang sebenarnya."
"Keluarga saya?"
"Orang tua kamu. Ya, orang tua kamu masih hidup."
"Tapi kenapa--kenapa bapak bisa tau orang tua saya?"
"Saya mengenalnya. Kami satu bangsa." Agus terdiam, dia masih tidak mengerti, sampai akhirnya Pak Iman melanjutkan.
"Bangsa kami berbeda dengan bangsa kalian." kata Pak Iman. "Bangsa Dartziens, bangsa yang tersembunyi. Bangsa yang tidak boleh seorangpu tau tentang keberadaannya."
"Tapi kenapa bapak memberitahu saya?"
"Karena kamu termasuk, Gus. Semua keluargamu termasuk di dalamnya."
Jantung Agus berdegup semakin kencang Dia tak berdaya, ketika tahu siapa dia sebenarnya. Dari bangsa yang berbeda.... Dari bangsa yang berbeda.... Kalimat tersebut terus bergema dalam benaknya.
***