What's Up.......!!!

hallo semua... selamat datang di blog gue. Bukan blog biasa yang isinya pasti (mungkin) bisa ngerubah hidup lo seutuhnya.
yawdah deh met menikmati aja hidangan yang udah gue sajiin bwt lo smua.....
NB: Maaf ye klo masih berantakan ^^

07 April 2009

THE DARTZIENS

1
MIMPI YANG DI TAKUTI

Di suatu daerah di Jakarta, di perkampungan kumuh yang dikelilingi oleh bau sampah yang menyengat. seperti itulah kiranya gambaran lingkungan sekitar yang di diami oleh Agus. Pria yang berkulit putih, kurus, dan jangkung ini tinggal bersama Engkong Maman yang merupakan kakeknya. Engkong Maman berwajah seram, rambutnya putih jarang disisir, dia tampak gagah walaupun terlihat dirinya tak mampu membawa tubuhnya yang kurus sendiri sampai-sampai dia memakai tongkat un tuk menumpu tubuhnya.
Hampir 17 tahun lamanya Agus tinggal bersama kakeknya. Ayah dan ibunya sudah meninggal ketika usianya baru 1 tahun, meskipun dia tampaknya tak begitu yakin karena dia menganggap ucapan Engkong Maman terhadapnya tentang Ayah dan ibunya hanya berusaha menutup-nutupi apa yang terjadi sebenarnya. Itu terjadi terjadi saat Agus selalu dihantui oleh mimpi aneh tentang keberadaan orang tuanya.
Dia melihat kedua orang tuanya menuju ke sebuah kastil aneh yang sangat gelap. Kastil tersebut terdapat banyak pintu yang tak terhitung jumlahnya.Kastil itu juga dikelilingi oleh sungai yang airnya sangat jernih dibandingkan sungai Ciliwung.
Ayah dan ibunya melewati sungai itu dengan menyeberangi jembatan raksasa yang menghubungkannya menuju pintu utama. Keduanya terlihat aneh memakai jubah hitam panjang yang terjulur sampai bawah menutupi telapak kaki. Sang ayah memakai caping berwarna putih dengan gambar seekor gajah jingkrak merah ditengahnya. Seadngkan sang ibu, sama seperti ayahnya, namun rambutnya yang hitam berkilau dibiarkan terurai sampai bahu. Agus yang melihat dari kejauhan, di bawah pohon beringin yang sangat tua, lalu ingin mengikutinya secara diam-diam. Namun...
TIDAKKKK!!!!
Agus terlonjak dari tidurnya. Dilihatnya sesosok bayangan Engkong Maman yang berusaha mengakhiri malam-malam yang sangat menegangkan baginya.
"Kenape lu Tong? Ade ape?" tanya Engkong Maman.
Di depannya, Agus berusaha menceritakan secara rinci bagaimana mimpi itu menghantuinya setiap malam dan berharap Engkong mengerti apa yang diucapkannya.
"Jadi, ape arti dari smue ni Kong?Ape bener nyak babe masih idup?" kata Agus.
Mendengar ini, wajah Engkong Maman mendadak sangat seram, garis-garis keriputnya terlihat jelas. Sekilas monster dalam dirinya muncul memperingatkan Agus.
"Ah...Engkong ga... Ga usah dibahas lagi!" gertak Engkong Maman.
"Tapi..."
"Inget Gus, gua bilangin lu ga usah nanya-nanya itu lagi di depan gua. Itu bukan urusan lu!" kata Engkong Maman melengking, lalu segera meninggalkan Agus yang masih bingung akan tngkahnya.
Kenape? ade ape dengan Engkong?ape Engkong tau semuanye?kenape die ga mau kasih tau aye kalo emang bener ntu semue?
Beribu-ribu pertanyaan muncul dalam benaknya yang membuatnya ingin sekali menyelidikinya. Namun tidak sekarang, banyak hal yang harus dia kerjakan sekarang daripada memikirlan hal-hal yang menurutnya sulit untuk diungkapkan.
Langit tampak cerah pagi ini, namun tak secerah apa yang dialami oleh Agus. Agus masih memikirkan tingkah laku Engkongnya tadi subuh. Dia yakin bahwa Engkongnya tahu apa yang dia tidak tahu selama ini dan dia harus mencari tahu akan hal itu.
Di sekolah pun Agus tak ingin banyak bicaradan itu membuat teman-temannya heran bukan kepalang.
"Kenapa Gus?keliatannya murung amat, ada masalah?" tanya seorang gadis, duduk di bangku disebelah Agus yang terletak di sudut kanan kelas paling belakang. Gadis cantik itu berambut hitam panjang sebahu dan dari wajahnya memancar sinar kehangatan dan kelembutan bagi siapa saja yang melihatnya.
"Apa?" kata Agus, terbangun dari lamunannya.
"Iya, kenapa?"
"Aku...aku--ga ada, ga ada apa-apa." kata Agus ragu. Dia tak tahu harus bilang apa, memberitahunya segala apa yang dia alami, sepertinya terlalu mengambil resiko yang berat. Dia ingin menyimpannya sendiri masalahnya, terlalu egois memang, tapi dia yakin dia bisa memecahkannya.
"Aku tau, kamu lagi ada masalah, tapi kamu jangan gitu dong, bagaimanapun aku kan pacar kamu." bujuk gadis itu.
"Aku ga ada apa-apa Dinda, kamu jangan berlebihan gitu, walaupun kamu pacar aku, aku berhak punya rahasia, rahasia yang ga boleh seorangpun tau, termasuk kamu!" kata Agus jengkel.
Diam sejenak, Agus memperhatikannya, air mata Dinda mengalir ke pipinya, melewati dagunya lalu jatuh di atas roknya yang berwarna abu-abu. Dia tak tega, melihat kekasihnya sedih disisinya, dia ingin memeluknya dan menyeka air matanya, tapi tak bisa. Di satu sisi dia tak ingin masalahnya terungkap begitu saja ke orang lain, di sisi lain dia tak ingin melukai hati Dinda.
Agus meninggalkannya. Pilihan itu muncul begitu saja setelah dia tak yakin akan apa yang harus dia perbuat. Dinda sendirian, terpaku di tempat duduknya dan wajahnya menyandar ke meja, menutup matanya yang berair dengan lengannya.
Malam harinya, Agus terbaring di tempat tidurnya, memandang langit-langit kamar tidurnya, memikirkan kejadian-kejadian yang telah berlalu hari ini. Mimpi yang selalu menghantuinya, Dinda yang menangis di sisinya dan meninggalkannya begitu saja, semuanya membekas dalam pikirannya, membuatnya gelisah, belum lagi mimpi itu, yang diprediksi Agus akan muncul lagi menghiasi tidurnya. Dia tak tahu apa yang harus dia lakukan untuk mencegah mimpi itu datang lagi dalam angan-angannya, menghilangkannya dalam ingatan dan memikirkan hal yang indah-indah--dalam hal ini Dinda-- merupakan solusi yang terbaik. Dia mencobanya, namun sia-sia, sampai akhirnya kegelapan membawanya ke tempat yang sudah tak asing lagi baginya.
Di suatu tempat yang gelap, dengan udara malam yang sangat dingin, Agus berdiri di sana di jalan kecil disinari cahaya bulan. Di sebelah kanan dan kirinya dibatasi semak rendah yang tumbuh liar. Di ujung jalan, Agus melihat setitik cahaya putih yang menyilaukan. Seakan itu tujuannya, Agus bergegas menuju sumber cahaya tersebut, semakin dekat semakin menyilaukan dan cahaya tersebut masuk ke dalam tubuhnya, menusuk rusuknya hingga akhirnya dia tak sadarkan diri.
Beberapa lama berselang, dia perlahan membuka matanya. Dia berbaring menelungkupmembiarkan hawa dingin menyerangnya tanpa ampun. Dia sadar dengan sakit yang amat luar biasa di sekujur tubuhnya, hidungnya berdarah, tangan dan kakinya membeku seketika, dan dadanya sakit saat mencoba mendirikan tubuhnya. Wajahnya yang pucat menjadi pertanda bahwa dia sendiri telah mengalami ketakutan yang luar biasa dalam dirinya.
Sekuat tenaga dia mencoba berdiri dengan tangan dan kakinya yang kaku. Dia berhasil mengimbangi dirinya sendiri, menahan sekuat tenaga akan sakit yang dia alami. Matnya yang mulai terbiasa melihat sekelilingnya dimana dia berada dan dia sadar, dia sudah berada di tempat yang berbeda.
Tepatnya di jalan setapak yang diterangi lampu neon di atasnya, di kanan kirinya terdapat sebaris rumah kecil yang gelap tak ada penerangan. Dia berjalan terhuyung-huyung melewati rumah-rumah yang tampaknya sudah tua dan tak berpenghuni.
"TIDAKKK!!!!"
Hati Agus tersentak. Dia mendengar teriakan dari salah stu rumah yang baru saja dilewatinya. Jantung Agus berdegup kencang, dia tak menyangka ternyata masih ada manusia selain dia yang ada di tempat itu. Dengan rasa penasaran, dia mencoba mundur dan mendekati rumah yang sepertinya menjdi sumber suara.
"Tidak Charlie, aku tidak mau!" kata seorang gadis sambil menangis. Dia terlihat anggun memakai piyama berwarna biru laut dengan rambut hitamnya yang panjang terurai. Dia sedang duduk di bangku berlengan yang sudah reyot, menangis tersedu-sedu, namun aura kecantikannya masih memancar di wajahnya yaipenuhi air mata.
"Mayna, kumohon,biarlah anak itu tinggal di sini. Itu demi kebaikan kita bersama. Dia perlu tau siapa dia, darimana dia berasal." kata seorang laki-laki yang sedang berdiri di depan gadis, memohon gadis agar mau menerima usulannya. Laki-laki itu berbadan tegap, tinggi, memakai jubah hitampanjangyang terjulur sampai bawah. Dia berambut ikal dihiasi denga uban sana sini, alisnya tebal dan hidungnya mancung.
"Please Mayna, izinkan aku membawanya ke sini, dia harus tau, dia harus tau!" kata Charlie
"Baiklah," kata Mayna "tapi, aku tak mau dia ada mengikuti jejakku dan juga Farcal. Aku ingin dia baik, seperti kakeknya."
"Oke, aku akan bawa dia di pihakku. Tapi, apakah dia berhak--?"
"Tidak! dia tak boleh tau tentang ini. Aku takut..." Mayna menangis tersedu-sedu, dia tak kuat menahannya.
Hati Agus mencelos, Dia tahu. Dia tahu semuanya. Namun tiba-tiba kabut tebal menyelimutinya, kegelapan mulai menyerangnya dan dia membuka matanya.

***