What's Up.......!!!

hallo semua... selamat datang di blog gue. Bukan blog biasa yang isinya pasti (mungkin) bisa ngerubah hidup lo seutuhnya.
yawdah deh met menikmati aja hidangan yang udah gue sajiin bwt lo smua.....
NB: Maaf ye klo masih berantakan ^^

18 Juni 2009

THE DARTZIENS

3
BOGGY SANG PENJAGA

"Mari ikut saya." kata Pak Iman. Dia beranjak dari tempat duduknya dan kemudian segera meninggalkan ruangan. Agus yang seakan masih tak percay kemudian mengikutinya dari belakang.
Pak Iman berjalan menuju koridor sekolah melewati ruangan demi ruangan yang penerangannya sudah mulai meredup. Agus terus mengikutinya dan mencoba meyesuaikan diri dengan langkah Pak Iman yang cepat. Mereka terus berjalan hingga ke ujung koridor dan berbelok ke kiri ke sebuah tempat yang gelap yang diketahui Agus sebagai gudang sekolah.
Pak Iman berhenti di depan pintu gudang dan diam sejenak seakan sedang memikirkan sesuatu. Tiba-tiba pintu itu terbuka dengan sendirinya, Pak Iman masuk diikuti Agus yang masih menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tempat tersebut sangatlah pengap. meja-meja dan kursi-kursi yang tak terpakai terlihat berantakan di sekelilingnya. Tempat yang tidak berpenghuni itu praktis menjadi rumah yang nyaman bagi para tikus dan kecoak yang terlihat berkeliaran mencari mangsa pada malam itu.
Pak Iman kemudian berjalan ke seberang ruangan menuju ke sebuah tempat yang lantainya seperti pintu tersembunyi di balik debu yang sangat tebal. Dia merunduk, memegangi pegangan pintu yang berwarna keemasan yang sudah terlihat berkerak dan perlahan membukanya.
Pintu itu terbuka lebar di hadapannya. Cahaya yang berasal dari dalamnya menyilaukan Pak Iman dan juga Agus yang sejak tadi mengamatinya. Tngga pualam terbentang di bawahnya, sebagai jalan menuju ke sebuah tempat yang sepertinya terletak di bawah tanah.
"Ayo kita pergi." kata Pak Iman. Belum sempat kakinya menginjak anak tangga, Agus yang masih heran menghentikannya.
"Tunggu! Sebenarnya kita mau kemana?" tanya Agus.
"Ikuti saja aku." kata Pak Iman, kemudian melangkahkan kakinya menuju anak tangga dan menuruninya, disusul Agus yang lagi-lagi masih tidak percaya atas apa yang dialaminya saat ini.
Mereka menuruni undakan demi undakan, menyusuri tangga yang sangat panjang berkelok-kelok tanpa putus. Tempat yang dilewati tangga tersebut sangatlah dalam. Terang obor yang ditancapkan di dinding batu di sekelilingnya, membuat suasana yang ditimbulkan semakin mencekam. Makhluk-makhluk kecil bersayap yang bergelantungan seperti kelelawar di sekelilingnya menambah ketegangan yang dirasakan oleh Agus. Dia mengerling ke salah satu makhluk tersebut, makhluk kecil bersayap lebar, bermata hijau dan kulitnya yang berbulu hitam memamncarkan aura yang sangat tidak wajar bagi Agus.
"Pak Iman, itu makhluk apa?" tanya Agus masih memerhatikan makhluk yang sepertinya sedang tidur nyenyak di antara bongkahan dinding berbatu yang diyakini Agus sebagai sarang mereka.
"Itu noubat." kata Pak Iman."Hewan asli Dartziens yang sering dibuat lauk dan menjadi favorit bangsa kami."
"Apa?! Lauk?? Apa saya tidak salah dengar?" kata Agus heran. Dia tidak menyangka bahwa makhluk yang dia anggap mengerikan itu ternyata menjadi makanan favorit rakyat Dartziens.
"Ya tentunya kamu tidak salah. Daging noubat sangatlah enak dan tulangnya lezat sekali. Kali ini kamu harus mencobanya." kata Pak Iman sambil tersenyum. Ini hal hal yang sangat mengejutkan bagi Agus karena untuk pertama kalinya Pak Iman bisa tersenyum lepas dihadapannya. Saat itu keaadan sudah mulai tampak mencair dan Agus pun secara bertahap mampu mengakrabkan diri dengannya. Suasana kondusif pun terbangun, Agus tampak mulai merasa nyaman dengannya dan begitu pula sebaliknya, Pak Imna pun terlihat sudah tidak malu-malu lagi mengeluarkan jati diri yng sebenarnya dihadapan Agus.
Mereka menyusuri undakan demi undakan yang sangat panjang tiada putus. Sudah tak terhitung lagi berapa meter persisnya posisi mereka sekarang dari permukaan tanah. Suasana semakin mencekam dengan hadirnya suara-suara kepakan sayap yang berasal dari noubat yang mulai beterbangan kesana kemari seakan terganggu akan kehadiran manusia di tempatnya.

bersambung...